Koalisi Global Kampanyekan Vaksinasi Baru bagi Campak dan Rubella

Campak adalah salah satu penyakit paling menular di dunia dan merupakan penyebab utama kematian dan cacat di kalangan anak-anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, meskipun vaksin yang aman, efektif dan terjangkau sudah tersedia. 

Pengumuman mengenai gerakan vaksinasi baru itu muncul dengan data baru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai tingkat kematian akibat campak. WHO adalah mitra dalam inisiatif baru ini, yang juga dipimpin oleh Palang Merah Amerika, Yayasan PBB, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika, dan Dana Anak-anak PBB (UNICEF). 

Anthony Lake, Direktur Eksekutif UNICEF, mengatakan kampanye imunisasi di seluruh dunia telah menurunkan angka kematian akibat campak dari 2,5 juta pada tahun 1980 menjadi hanya 139.000 sekarang ini - dan menurunkan angka kematian sebanyak 74 persen sejak tahun 2000. Lake mengatakan jangkauan vaksin itu mencapai sekitar 95 persen anak-anak, bahkan di daerah terpencil dan miskin. 

"Ini adalah salah satu pencapaian besar dalam sejarah kesehatan masyarakat. Namun kabar buruknya, campak masih menyebabkan kematian 382 jiwa, setiap hari, sebagian besar adalah balita. Padahal mereka sebenarnya bisa diselamatkan dengan dua dosis vaksin seharga 22 sen," papar Lake. 

Dalam tiga tahun ke depan, strategi baru itu bertujuan untuk mengurangi infeksi campak secara global sebesar 95 persen dari tahun 2000. Tujuan kedua adalah untuk memberantas rubella pada tahun 2020 di lima kawasan di dunia. 

Prakarsa baru itu mendorong sekitar 62 negara yang selama ini tidak memberi vaksinasi melawan rubella untuk melakukannya dengan suntikan kombinasi campak-rubela. Ini menjamin bahwa tidak akan ada bayi yang lahir dengan penyakit bawaan terkait rubella, mulai dari cacat jantung sampai bisu tuli dan kebutaan. 

Rencana tersebut juga menyerukan cakupan vaksinasi yang luas, pemantauan dan pengawasan penyakit, respon yang cepat terhadap wabah, penelitian penyakit dan pengembangan alat-alat diagnostik baru. 

Tetapi, dananya masih kurang, kata Kathy Calvin, CEO Yayasan PBB, mitra lain dalam inisiatif inokulasi itu. Dia mengatakan dana tambahan 112 juta dolar diperlukan untuk mencapai tujuan pemberantasan campak dan rubella secara global pada tahun 2015. 

"Kami ingin semua orang, dari para pemimpin dunia sampai individu, meningkatkan komitmen mereka untuk memberantas campak dan rubella, jika kita ingin mencapai tujuan itu," ujarnya. 

Calvin menambahkan bahwa sedikit saja sumbangan dari orang di seluruh dunia dapat membantu menyelamatkan banyak nyawa. (voaindonesia.com)

Tanya Jawab Kehalalan dan Keamanan Vaksin

Saat ini beredar di masyarakat berbagai pertanyaan dan keraguan terkait dengan kehalalan vaksin. Untuk menjawab semua itu, Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Dr. Soedjatmiko akan menjawabnya lewat tanya jawab sebagai berikut:

Bagaimana cara mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian akibat penyakit menular pada bayi dan balita ?

Pencegahan umum: berikan ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang, kebersihan badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan.

Pencegahan khusus: berikan imunisasi lengkap, karena dalam waktu 4 – 6 minggu setelah imunisasi akan timbul antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit, sehingga tidak mudah tertular, tidak sakit berat, tidak menularkan kepada bayi dan anak lain, sehingga tidak terjadi wabah dan tidak terjadi banyak kematian.

Benarkah imunisasi aman untuk bayi dan balita ?

Benar. Saat ini 194 negara terus melakukan vaksinasi untuk bayi dan balita. Badan resmi yang meneliti dan mengawasi vaksin di negara tersebut umumnya terdiri atas para dokter ahli penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi, farmakologi, epidemiologi, dan biostatistika. Sampai saat ini tidak ada negara yang melarang vaksinasi, justru semua negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90% .

Mengapa ada “ilmuwan” menyatakan bahwa imunisasi berbahaya ?

Tidak benar imunisasi berbahaya. “Ilmuwan” yang sering dikutip di buku, tabloid, milis ternyata bukan ahli vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum, wartawan. Sehingga mereka tidak mengerti betul tentang vaksin. Sebagian besar mereka bekerja pada era tahun 1950- 1960, sehingga sumber datanya juga sangat kuno.

Benarkah “ilmuwan kuno” yang sering dikutip buku, tabloid, milis, ternyata bukan ahli vaksin ?

Benar, mereka semua bukan ahli vaksin. Contoh : Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR. Bernard Rimland (Psikolog), Dr. William Hay (kolumnis), Dr. Richard Moskowitz (homeopatik), dr. Harris Coulter, PhD (penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z. Miller, (psikolog, jurnalis), WB Clark (awal tahun 1950) , Bernice Eddy (Bakteriologis tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr (sarjana hukum) Dr. WB Clarke (ahli kanker, 1950an), Dr. Bernard Greenberg (1957-1959).

Benarkah dokter Wakefield “ahli vaksin”, membuktikan MMR menyebabkan autism ?

Tidak benar. Wakefield juga bukan ahli vaksin, dia dokter spesialis bedah. Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya dengan sample 18. Banyak penelitian lain oleh ahli vaksin di beberapa negara menyimpulkan MMR tidak terbukti mengakibatkan autis. Setelah diaudit oleh tim ahli penelitian, terbukti bahwa Wakefield memalsukan data, sehingga kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan di majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011.

Benarkah di semua vaksin terdapat zat-zat berbahaya yang dapat merusak otak ?

Tidak benar. Isu itu karena “ilmuwan” tersebut di atas tidak mengerti isi vaksin, manfaat, dan batas keamanan zat-zat di dalam vaksin. Contoh: jumlah total etil merkuri yang masuk ke tubuh bayi melalui vaksin sekitar 2 mcg/kgbb/minggu, sedangkan batas aman menurut WHO adalah jauh lebih banyak (159 mcg/kgbb/minggu). Oleh karena itu vaksin mengandung merkuri dengan dosis yang sangat rendah dan dinyatakan aman oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.

Benarkah isu bahwa “semua zat kimia” berbahaya bagi bayi ?

Tidak benar. Isu itu beredar karena penulis buku, tabloid, milis, tidak pernah belajar ilmu kimia. Oksigen, air, nasi, buah, sayur, jahe, kunyit, lengkuas, semua tersusun dari zat-zat kimia. Buktinya oksigen rumus kimianya O2, air H2O, garam NaCl. Buah dan sayur terdiri atas serat selulosa, fruktosa, vitamin, mineral, dll. Telur terdiri dari protein, asam amino, mineral. Itu semua zat kimia, karena ada rumus kimianya. Jadi zat-zat kimia umumnya justru sangat dibutuhkan untuk manusia asal bukan zat yang berbahaya atau dalam takaran yang aman.

Benarkah vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, manusia yang sengaja digugurkan?

Tidak benar. Isu itu bersumber dari “ilmuwan” 50 tahun lalu (tahun 1961-1962). Teknologi pembuatan vaksin berkembang sangat pesat. Sekarang tidak ada vaksin yang terbuat dari nanah atau dibiakkan embrio anjing, babi, atau manusia.

Benarkah vaksin mengandung lemak babi ?

Tidak benar. Hanya sebagian kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan dengan tripsin pada proses pengembangan maupun pembuatannya seperti vaksin polio dan meningitis. Pada vaksin meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15 – 20 tahun lalu, ketika panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikkan tidak mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis Ulama Indonesia berpendapat vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada penggantinya. Contohnya vaksin meningokokus (meningitis) haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.

Benarkah vaksin yang dipakai di Indonesia buatan Amerika ?

Tidak benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Bio Farma Bandung, yang merupakan BUMN, dengan 98,6% karyawannya adalah Muslim. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin di BPOM dan WHO. Vaksin-vaksin tersebut juga diekspor ke 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, seperti Iran dan Mesir.

Benarkah program imunisasi hanya di negara Muslim dan miskin agar menjadi bangsa yang lemah?

Tidak benar. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara, termasuk negara-negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, dan negara-negara non-Muslim. Kalau imunisasi bisa melemahkan bangsa, maka mereka juga akan lemah, karena mereka juga melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu dengan jenis vaksin lebih banyak. Kenyataanya : bangsa dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan.

Benarkah isu di buku, tabloid dan milis bahwa di Amerika banyak kematian bayi akibat vaksin ?

Tidak benar. Isu itu karena penulis tidak faham data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA Amerika tahun 1991-1994, yang mencatat 38.787 laporan kejadian ikutan pasca imunisasi, oleh penulis angka tersebut ditafsirkan sebagai angka kematian bayi 1 – 3 bulan. Kalau memang benar angka kematian begitu tinggi tentu FDA AS akan heboh dan menghentikan vaksinasi. Faktanya Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi bahkan mempertahankan cakupan semua imunisasi di atas 90 %. Angka tersebut adalah semua keluhan nyeri, gatal, merah, bengkak di bekas suntikan, demam, pusing, muntah yang memang rutin harus dicatat kalau ada laporan masuk. Kalau ada 38.787 laporan dari 4,5 juta bayi berarti KIPI hanya 0,9 %.

Benarkah isu bahwa banyak bayi balita meninggal pada imunisasi masal campak di Indonesia ?

Tidak benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu dikaji oleh Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit infeksi, imunisasi, imunologi. Setelah dianalisis dari keterangan keluarga, dokter yang merawat di rumah sakit, hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, ternyata balita tersebut meninggal karena radang otak, bukan karena vaksin campak. Pada bulan itu ada beberapa balita yang tidak imunisasi campak juga menderita radang otak. Berarti kematian balita tersebut bukan karena imunisasi campak, tetapi karena radang otak.

Demam, bengkak, merah setelah imunisasi membuktikan bahwa vaksin berbahaya?

Tidak berbahaya. Demam, merah, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu bisa konsul ke petugas kesehatan terdekat.

Benarkah vaksin Program Imunisasi di Indonesia juga dipakai oleh 36 negara Muslim?

Benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma Bandung. Vaksin-vaksin tersebut dibeli dan dipakai oleh 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.

Benarkah isu di tabloid, milis, bahwa program imunisasi gagal?

Tidak benar. Isu-isu tersebut bersumber dari data yang sangat kuno (50 – 150 tahun lalu) hanya dari 1 – 2 negara saja, sehingga hasilnya sangat berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena vaksinnya sangat berbeda.

Contoh :

- Isu vaksin cacar variola gagal, berdasarkan data yang sangat kuno, di Inggris tahun 1867 – 1880 dan Jepang tahun 1872-1892. Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar di seluruh dunia sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola.

- Isu vaksin difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun 1939. Fakta sekarang: vaksin difteri dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan kasus difteri hingga 95 %.

- Isu pertusis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova Scottia tahun 1986

- Isu vaksin campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika

Benarkah program imunisasi gagal, karena setelah diimunisasi bayi balita masih bisa tertular penyakit tersebut ?

Tidak benar program imunisasi gagal. Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah diimunisasi masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya. Bayi balita yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat atau meninggal.

Benarkah imunisasi bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita?

Benar. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna. Oleh karena itu saat ini program imunisasi dilakukan terus menerus di 194 negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Semua negara berusaha meningkatkan cakupan agar lebih dari 90 %. Di Indonesia, setelah wabah polio 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak diimunisasi polio, maka menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Setelah digencarkan imunisasi polio, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.

Mengapa di Indonesia ada buku, tabloid, milis, yang menyebarkan isu bahwa vaksin berbahaya, tidak effektif, tidak dilakukan di negara maju ?

Karena di Indonesia ada orang-orang yang tidak mengerti tentang vaksin dan imunisasi, hanya mengutip dari “ilmuwan” tahun 1950 -1960 yang ternyata bukan ahli vaksin, atau berdasar data-data 30 – 40 tahun lalu (1970 – 1980an) atau hanya dari 1 sumber yang tidak kuat. Atau dia mengutip Wakefield spesialis bedah, bukan ahli vaksin, yang penelitiannya dibantah oleh banyak tim peneliti lain, dan oleh majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011 penelitian Wakefield dinyatakan salah alias bohong. Ia hanya berdasar kepada 1 – 2 laporan kasus yang tidak diteliti lebih lanjut secara ilmiah, hanya berdasar logika biasa.

Bagaimana orangtua harus bersikap terhadap isu-isu tersebut?

Sebaiknya semua bayi dan balita diimunisasi secara lengkap. Saat ini 194 negara di seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian pada bayi dan balita. Terbukti 194 negara tersebut terus menerus melaksanakan program imunisasi, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85 %.

Badan penelitian di berbagai negara membuktikan kalau semakin banyak bayi balita tidak diimunisasi akan terjadi wabah, sakit berat, cacat atau mati. Hal ini telah terbukti di Indonesia, di mana wabah polio merebak pada tahun 2005-2006 (305 anak lumpuh permanen), wabah campak 2009 – 2010 (5.818 anak dirawat di RS, meninggal 16), dan wabah difteri 2010-2011 (816 anak di rawat di RS, 56 meninggal).

Bisakah ASI, gizi, dan suplemen herbal menggantikan imunisasi ?

Tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan bisa, karena kekebalan yang dibentuk sangatlah berbeda. ASI, gizi, suplemen herbal, kebersihan, hanya memperkuat pertahanan tubuh secara umum, karena tidak membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu. Kalau jumlah kuman banyak dan ganas, perlindungan umum tidak mampu melindungi bayi, sehingga masih bisa sakit berat, cacat atau bahkan mati.

Imunisasi merangsang pembentukan antibodi dan kekebalan seluler yang spesifik terhadap kuman-kuman atau racun kuman tertentu, sehingga bekerja lebih cepat, efektif, dan efisien untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya.

Bolehkah selain diberikan imunisasi, ditambah dengan suplemen gizi dan herbal?

Boleh. Selain diberi imunisasi, bayi harus diberi ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang, kebersihan badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan. Suplemen diberikan sesuai kebutuhan individual yang bervariasi. Selain itu bayi harus diberikan kasih sayang dan stimulasi bermain untuk mengembangkan kecerdasan, kreatifitas dan perilaku yang baik.

Benarkah bayi dan balita yang tidak diimunisasi lengkap rawan tertular penyakit berbahaya ?

Benar. Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai membuktikan bahwa bayi balita yang tidak diimunisasi lengkap tidak mempunyai kekebalan spesifik terhadap penyakit-penyakit berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan menderita sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.

Benarkah wabah akan terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi ?

Benar. Itu sudah terbukti di beberapa negara Asia, Afrika dan di Indonesia.

Contoh: wabah polio 2005-2006 di Sukabumi karena banyak bayi balita tidak diimunisasi polio, dalam hitungan beberapa bulan, virus polio menyebar cepat ke Banten, Lampung, Madura, menyebabkan 305 anak lumpuh permanen.

Wabah campak di Jawa Tengah dan Jawa Barat 2010-2011 mengakibatkan 5.818 anak dirawat di rumah sakit dan 16 anak di antaranya meninggal dunia.

Wabah difteri dari Jawa Timur 2009 – 2011 menyebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Barat, DKI Jakarta, menyebabkan 816 anak harus di rawat di rumah sakit, 54 meninggal.

*Penulis adalah :
  1. Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008.
  2. Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI).
  3. Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang - Pediatri Sosial, Magister Sains Psikologi Perkembangan.

Bio Farma Jawab Pro Kontra Imunisasi

PT Bio Farma (Persero) memaparkan berbagai informasi mengenai imunisasi dalam satu diskusi panel di Jakarta, Sabtu, untuk menjawab pro dan kontra seputar imunisasi yang beredar di masyarakat.

Dalam diskusi bertema "Pro dan Kontra Imuniasi" yang diselenggarakan oleh Majalah Ayahbunda di Gedung Mensa Jalan HR Rasuna Said Jakarta, Bio Farma menghadirkan Kepala Bagian Pengembangan Vaksin Kombinasi/Sektor Research DR. Neni Nurainy, Apt sebagai pembicara.

Di hadapan perwakilan komunitas pembaca Ayahbunda, baik yang pro maupun kontra imuniasi, hadir pula sebagai pembicara Prof. DR. dr. Sri Rezeki Hadinegoro Sp.A(K), Ketua Satgas Imunisasi IDAI dan Ketua Komite Ahli Penasehat Imunisasi Program Imunisasi, dan dr. Kenny Peetosutan, perwakilan dari UNICEF Indonesia.

Tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Imunisasi merupakan tindakan preventif dalam pencegahan berbagai penyakit menular.

Program imunisasi dalam kurun waktu 20 tahun telah mencapai tingkat yang memuaskan dengan mampu mengurangi kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Namun, dalam kurun waktu enam tahun terakhir, cakupan imunisasi mengalami penurunan. Hal ini terjadi sejak ditemukan kembali kasus Polio pada periode 2005-2006 di daerah Cidahu, Sukabumi.

Penurunan cakupan imunisasi ini terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya kampanye anti imunisasi dari sekelompok masyarakat. Imunisasi dianggap tidak berguna dan berbahaya, karena sekelompok masyarakat merasa takut pada efek samping yang diberikan daripada penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Kenyataannya, imunisasi memiliki manfaat yang sangat besar baik secara individu, sosial, maupun dalam menunjang sistem kesehatan nasional. Antara 80 – 95% anak yang mendapatkan imunisasi akan terhindar dari berbagai penyakit menular dengan begitu akan menekan angka kesakitan dan kematian bagi bayi dan anak-anak.

Dengan melakukan imunisasi, kita tidak hanya menciptakan kekebalan individu tapi juga memutus mata rantai penularan penyakit dari anak ke anak yang lain atau orang dewasa (manfaat sosial).

Manfaat lain dengan melakukan imunisasi, yaitu kita dapat menurunkan angka pengobatan dan perawatan, mencegah kematian, serta kecacatan yang akan menjadi beban masyarakat seumur hidup.

Imunisasi mampu meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan daya produktivitas tubuh menjadi lebih baik, hal ini diungkapkan oleh N. Nurlaela, Kepala Bagian Public Relations PT Bio Farma (Persero).

Saat ini vaksin yang beredar di masyarakat telah mempunyai keamanan dengan menggunakan standar kualitas internasional sehingga mampu meningkatkan kekebalan yang lebih baik dan mampu bertahan dalam jangka waktu lebih lama.

Sepuluh tahun terakhir, perkembangan vaksin mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bio Farma telah melakukan inovasi melalui sinergi ABG (Academic, Business, dan Government) untuk mempercepat (quick win) proses produksi.

Proses produksi vaksin masa depan diharapkan dapat memproduksi vaksin yang aman, tahan lama, berkurangnya efek samping yang ditimbulkan, antigen yang tepat, adjuvant yang aman, memiliki protein aktif dan menggunakan DNA rekombinan.

Bio Farma merupakan salah satu perusahaan milik pemerintah (BUMN) yang bertugas untuk memproduksi vaksin dan anti sera bagi kepentingan kesehatan di Indonesia. Bio Farma telah memperoleh prakualifikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) mampu menjadikan Indonesia satu dari hanya 30 negara di dunia yang mampu mengekspor vaksin ke luar negeri.

Selain itu, Bio Fama menjadi kiblat industri vaksin halal bagi 57 negara Islam yang tergabung dalam “Self Reliance Vaccine Producer - Islamic Development Bank (SRVP - IDB)” dengan program vaksin halal dan berkualitas (thoyib) yang telah menghasilkan 1,7 miliar dosis vaksin sampai dengan tahun 2010. (antaranews.com)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | TokoPasutri